“Berani Menderita di Dalam Kebenaran”
1 Petrus 3:13-17
GI. Stanley Theofilus
PENDAHULUAN
Saudara, berbicara mengenai penderitaan di dalam gereja tentunya hal ini
bukanlah masalah yang baru dialami oleh gereja. Sejarah perjalanan kekristenan
diwarnai dengan tumpah darah para martir yang tegar mempertahankan iman
mereka kepada Kristus. Kesaksian-kesaksian para martir di segala zaman
menginspirasi gereja untuk tetap teguh berdiri menghadapi tantangan zaman
dan penderitaan yang sewaktu-waktu bisa menghampiri. Oleh sebab itu tidak
salah jika Tertullian mengatakan, “The blood of the martyrs is the seed of
the church.”
Penderitaan dan penganiayaan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat
dihindari oleh orang percaya. Namun pertanyaannya adalah bagaimana dengan
sikap kita sebagai gereja di zaman ini? Apakah kita siap menghadapi penderitaan
dan penganiayaan? Apakah kita siap mempertanggungjawabkan iman kita di
tengah-tengah dunia yang sewaktu-waktu menuntut pertanggunganjawab
melalui pengakuan dan sikap kita? Penderitaan dan penganiayaan adalah
kenyataan, namun bagaimana sebagai orang percaya kita bersikap?
1. TIDAK ADA KETAKUTAN DALAM KEBENARAN.
Ayat 12 Petrus mengatakan, “Sebab mata Tuhan tertuju kepada orang-
orang benar, dan telinga-Nya kepada permohonan mereka yang minta tolong,
tetapi wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat.” Lalu di ayat
13 Petrus mengatakan, “Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu,
jika kamu rajin berbuat baik?” Ada satu nilai universal yang ditunjukkan oleh
Petrus pada bagian ini bahwa kita sering berpikir sudah sewajarnya terjadi
jikalau seseorang mendapatkan apa yang setimpal dari apa yang diperbuatnya.
Hasil yang baik dari perbuatan yang baik. Diperlakukan baik karena
memperlakukan baik. Namun pada bagian ini Petrus tidak sedang menunjukkan
bahwa jika orang percaya berperilaku baik, mereka akan terhindar dari
penganiayaan dan perlakuan buruk. Namun sesungguhnya nasihat Petrus ini
justru mempersiapkan orang-orang percaya untuk tetap BENAR meski mereka
diperlakukan buruk dan tidak adil. Bahkan Petrus menyebut mereka adalah
orang-orang yang berbahagia.
Bagaimana mungkin menderita adalah suatu kebahagiaan? Tentu ini
menjadi suatu kontradiksi yang sukar dipahami oleh sebagian orang Kristen,
khususnya orang-orang non Kristen. Tidak ada di antara kita yang menyukai
penderitaan. Allah pun tidak menghendaki penderitaan karena Dia bukan sosok
pribadi yang jahat. Tetapi bagi Petrus hak istimewa untuk hidup benar karena
Kristus dan mengalami penderitaan karena Kristus tidak lain adalah berbahagia.
Tanda perkenanan Tuhan dan bukti keselamatan seseorang seperti yang
dikatakan sendiri oleh Tuhan Yesus (Yoh. 15:18-19; Bdk. Mat. 5:10)
Lebih lanjut Petrus mengatakan, “Sebab itu janganlah kamu takuti apa
yang mereka takuti dan janganlah gentar.” Kematian adalah momok terbesar
umat manusia. Manusia rela melakukan apa saja demi terhindar dari kematian,
termasuk di dalamnya meninggalkan iman mereka. Namun Petrus menghibur
dan menguatkan mereka untuk untuk tidak takut dan gentar. Kita adalah milik
Kristus, kita orang yang berbahagia. Oleh karena Kristus, maut kehilangan
sengatnya. Bagi orang percaya yang sungguh-sungguh memaknai kuasa Injil
dalam Yesus Kristus maka kematian tidaklah menghalangi orang tersebut berdiri
teguh bagi kebenaran (Mat. 10:28; bdk. Rm 8:35-39). Oleh sebab itu, TIDAK ADA
RUANG BAGI KETAKUTAN DI DALAM KEBENARAN.
2. PENDERITAAN MENJADI ALAT EFEKTIF BERSAKSI AKAN KRISTUS.
Saudara, ketika diperhadapkan dengan penderitaan dan penganiayaan,
rasul Petrus tidak hanya mempersiapkan sikap hati dan mental para
pembacanya saat itu. Melainkan juga memberikan nasihat akan sikap yang tepat
yang dapat menjadi kesaksian bagi orang-orang yang menganiaya mereka saat
itu. Ayat 15a mengatakan, “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu
sebagai Tuhan!” ini merupakan yang mendasari seluruh kesaksian orang
percaya tatkala berhadapan dengan orang-orang yang menganiaya mereka. Di
dalam bahasa aslinya dapat diartikan “hormatilah Kristus sebagai Tuhan!”
Semenjak Kristus menjadi Tuhan atas mereka maka Kristus lah yang harus
menjadi pusat dan memerintah secara penuh di dalam hidup mereka. Ketika
mereka menghormati Tuhan maka mereka harus tetap mengasihi musuh
mereka, termasuk di dalamnya sewaktu-waktu memberikan pembelaan jikalau
ada yang mempertanyakan harapan yang dimiliki oleh orang percaya.
Pengharapan yang dimaksudkan oleh Petrus pada bagian ini merupakan
pengharapan yang mendasari perubahan perilaku dan iman orang percaya yakni
keberhasilan Injil dalam hidup mereka (1Pet. 1:3). Keberhasilan kuasa Injil inilah
yang harus senantiasa siap untuk dipertanggungjawabkan/dibela oleh orang
percaya, tidak hanya dengan kata-kata, melainkan juga dengan sikap dan
perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan (Yak. 2:17-18; 1Kor. 9:23, 26-27).
Intinya adalah kita harus senantiasa sadar dan menghidupi Injil dengan serius
dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena sesungguhnya kita tidak pernah tahu
kapan kita harus siap sedia memberikan pembelaan akan iman kita yang
tercermin di dalam pengakuan dan perilaku kita. Kita harus melihat penderitaan
dan penganiayaan merupakan kesempatan bagi kita menjadi saksi yang efektif
membawa orang-orang melihat kepada Kristus. Maka disinilah kita dapat
memahami ketika Petrus kembali mengatakan di ayat 17, “Sebab lebih baik
menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, dari pada
menderita karena berbuat jahat.” Sederhananya adalah bagian kita untuk hidup
benar karena Allah menghendaki demikian. Bukan sebaliknya, hidup kita jangan
jadi batu sandungan yang pada akhirnya mengolok-olok kebenaran. Amin.