“Eksposisi 1 Petrus 1:13-21”
Pdt. Hendra G. Mulia
1 Petrus 1:15-16, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: “Kuduslah kamu sebab Aku kudus.”
Adolf Eichmann, seorang bawahan Adolf Hitler pada jaman Nazi telah membunuh setidaknya 6 juta orang Yahudi. Ketika dia ditangkap dan diadili, Adolf Eichmann mengatakan sesuatu yang mengejutkan. Ia mengatakan bahwa apa yang dilakukannya hanyalah melakukan final solution. Bahwa ia tidak merasa bertanggung jawab atas pembunuhan yang dilakukan, karena sesungguhnya dia hanya menjalankan tugas. Kita melihat apa yang dikatakan Eichmann, bahwa membunuh 6 juta orang Yahudi, tidak memiliki hati yang menyesal, dan hanya menggantinya dengan istilah final solution untuk pembunuhan itu, padahal apa yang dilakukan sangatlah kejam. Sebuah kejahatan hanya sekedar diganti dengan sebuah istilah.
Seorang warga negara Perancis memiliki perilaku pedofilia, dengan melecehkan 305 anak jalanan. Dia menganggap bahwa apa yang dilakukan itu bukan sebuah pelecehan, tetapi hanya sebuah reaksi natural dari tubuh yang diciptakan Tuhan. Perbuatan jahat dan bejat diganti istilahnya dengan sebuah kalimat yang bagus: “Mengagumi ciptaan Tuhan.”
Demikian juga orang yang melakukan korupsi, mereka menggunakan kata “mengalihkan dana dari semua rakyat untuk kesejahteraan.” Istilahnya diganti, bukan lagi korupsi, tetapi jadi kalimat keren.
Lalu misalkan tentang perceraian, mereka mengatakan bahwa: “ini adalah sebuah penghindaran dari sebuah ketidaksepahaman.” Jadi cerai ini dianggap remeh, hanya menghindarkan dari ketidaksepahaman.
Hannah Arendt, seorang filsuf Jerman mengatakan, bahwa kita hidup di jaman ini yang dipengaruhi dengan “banalitas kejahatan.” Sebuah banalitas dari kejahatan, atau kejahatan yang sudah biasa. Bahwa kejahatan dianggap sebagai suatu yang lumrah, sesuatu yang biasa pada jaman ini. Dunia ini memberikan pengaruh yang sangat besar dari tingkah laku kita di dalam sebuah kejahatan. Di mana dosa dan kejahatan dianggap hal yang lumrah dan biasa.
Coba pikirkan dan evaluasi diri kita, setiap Minggu kita beribadah kita di sediakan waktu untuk mengaku dosa, bagaimanakah sikap kita? Apakah kita benar-benar mengakuinya dengan sungguh di hadapan Tuhan? Apakah kita menganggap dengan serius persoalan dosa yang telah kita lakukan? Atau justru sebaliknya? Menganggap dosa biasa saja dan pada akhirnya kita tidak menggunakan momen untuk mengaku dosa sebagai sebuah waktu yang biasa juga! Sehingga sikap kita ketika masuk momen pengakuan dosa juga biasa saja! Banalitas dosa! Dosa tidak dianggap sebagai persoalan serius.
Saudara kita bisa melihat bahwa orang mengatakan jikalau kita menyerang agama tertentu itu adalah penistaan agama. Tetapi bagi kita orang Kristen, penistaan agama terjadi ketika kita sebagai umat beragama melakukan sebuah tindakan kejahatan dan menganggap kejahatan adalah sesuatu tindakan yang wajar. Gereja dan agama Kristen tidak akan dinista hanya dengan diserang dan dilempari. Gereja dan agama Kristen akan dinista jikalau orang-orang Kristen melakukan dosa tanpa melihatnya sebagai aib. Penistaan kekristenan akan terjadi ketika orang Kristen melakukan dosa tanpa merasa penyesalan, melakukan dosa dan menganggapnya tidak serius, melakukan dosa dan menganggapnya sudah biasa di dalam masyarakat. Banalitas dosa! itu penistaan kekristenan, itu yang memalukan Kristus. Jikalau kelakuan kita tidak kudus, maka kita adalah penista agama. Rasul Petrus mengatakan: “hendaklah kamu kudus, sebab Allah yang memanggil kita adalah kudus.” Amin