“Mempercayai Tuhan di Tengah Ketidakpastian”
Pengkhotbah 8:16-17; 11:5-6
Pdt. Martin H. Ghazali
Pendahuluan
Hidup ini penuh dengan banyak kejutan (life is full of surprises), demikian satu ungkapan yang cukup popular. Tidak semua kejutan tersebut menye- nangkan, sehingga setiap orang perlu siap terhadap apa yang bisa terjadi dalam hidupnya. Pada kenyataannya, seringkali banyak orang tidak siap, termasuk kita. Hidup ini memang predictable sekaligus unpredictable. Manusia pada dasarnya tidak menyukai hal-hal yang tidak bisa diprediksi dan tidak pasti, karena hal itu membuatnya merasa tidak berdaya, cemas, dan takut. Satu hal yang luar biasa dari bencana pandemi saat ini adalah, tidak satu pun para ahli dan negara-negara di dunia yang memperkirakan hal ini bisa terjadi, sehingga dapat mengantisipasi jauh-jauh hari sebelumnya. Tidak satu pun. Bencana ini merebak secara global dalam waktu yang relatif sangat cepat. Begitu mengejutkan. Begitu dahsyat dampaknya, bahkan sampai saat ini. Kalau kita coba melihat saja dari kondisi tahun lalu, apa yang terjadi tahun ini rasanya seperti sulit dipercaya. Dan sekarang dalam fase menuju new normal, masih banyak kondisi ketidakpastian menyangkut berbagai aspek: kesehatan, ekonomi, pendidikan, sosial, dan keamanan.
I. Pikiran dan Jalan-Jalan Tuhan
Dengan memakai kapasitas hikmatnya sebagai manusia, Pengkhotbah berusaha untuk melihat, menganalisa, dan menemukan pola atau petunjuk tertentu untuk memahami segala pekerjaan Allah di tengah dunia ini. Bagaimana hasilnya ? Kita tahu Pengkhotbah merupakan seorang yang sangat berhikmat. Namun bagaimanapun juga ia mencoba, ia menemukan dirinya begitu terbatas, dan tidak dapat menyelami segala pekerjaan yang Allah lakukan di tengah dunia ini. Hikmat manusia, kecanggihan teknologi, ditambah ilmu sains sekalipun dibuat terkejut dan seolah tidak berdaya menghadapi virus yang demikian kecil adanya. Mengapa Allah mengijinkan pandemi ini terjadi ? Apa maksud Tuhan melalui semua ini ? Banyak pertanyaan yang bisa muncul. Banyak juga yang mungkin mencoba untuk memberikan jawaban. Respons yang jujur dan sederhana paling tidak adalah : kita tidak mengetahuinya. Mengapa ? Karena pada kenyataannya kita memang sangat terbatas untuk bisa memahami segala sesuatu. Memahami virus covid 19 saja masih menjadi tantangan dan perjuangan dunia hingga saat ini. Terlebih lagi memahami segala pekerjaan yang dilakukan Allah di dunia ini.
Pada saat Pemazmur berusaha merenungkan tentang siapakah Tuhan, tentang keberadaan diri-Nya yang Maha tahu, Maha ada, dan Maha Pencipta, ia mengatakan, “Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya … Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah ! Betapa besar jumlahnya !” (Mazmur 139:6,17). Dalam kitab Yesaya, Tuhan sendiri mengatakan, “Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yesaya 55:9, bnd. Yesaya 40:13-14). Satu hal yang dapat kita ketahui dengan jelas adalah, Tuhan tahu apa yang Dia kerjakan. Dia memiliki hikmat, pertimbangan, rencana, serta pengetahuan yang jauh melampaui hikmat, pertimbangan, dan pengetahuan manusia. Jika kita ingin belajar lebih mengenal dan mempercayai Tuhan, kita perlu belajar mengakui keterbatasan hikmat dan pengetahuan kita dalam menyelami pikiran dan jalan-jalan Tuhan yang jauh melampaui tak terkira, seperti tingginya langit dari bumi.
II. Berdaulat, Sekaligus Baik
Meskipun kita tidak mampu menyelami pikiran dan hikmat Tuhan, Alkitab menyatakan bahwa Dia adalah Allah yang berdaulat sekaligus baik. Ini merupakan penghiburan sekaligus pengharapan bagi kita yang percaya. Banyak orang hari ini mempertanyakan hal tersebut. Mereka mengatakan : Tuhan itu berdaulat namun tidak baik, atau Tuhan itu baik namun Ia tidak berdaulat. Jika Tuhan memang berdaulat dan baik, kita tidak akan mengalami dan melihat semua tragedi dan hal-hal buruk yang terjadi setiap hari di dunia ini. Perhatikan apa yang Yesus katakan tentang kedaulatan Allah dalam hidup seekor burung pipit, “Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit ? Namun seekor pun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu” (Matius 10:29). Tidak ada seekor pun burung pipit yang bisa jatuh di luar kedaulatan kehendak Allah. Tetapi bagaimana dengan bencana besar seperti bencana alam atau pandemi global sekarang ini ?
Perhatikan apa yang Tuhan katakan melalui nabi Yesaya, “ Akulah yang menjadikan bumi dan yang menciptakan manusia di atasnya; tangan-Kulah yang membentangkan langit, dan Akulah yang memberi perintah kepada seluruh tentaranya … yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang berkata : Keputusan-Ku akan sampai dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan, yang memanggil burung buas dari timur, dan orang yang melaksanakan putusan-Ku dari negeri yang jauh …” (Yesaya 45:12; 46:10-11). Perhatikan, kekuasaan Tuhan mencakup secara keseluruhan, baik bumi, manusia, cakrawala, segala bintang-bintang di langit, bahkan zaman dan waktu, termasuk juga binatang buas dan para raja di bumi. Tidak ada satu pun area kehidupan atau keberadaan, di luar kekuasaan Tuhan yang berdaulat.
Bagaimana dengan kebaikan-Nya? Yesus berkata, kali ini dalam Injil Lukas, “Bukankah burung pipit dijual lima ekor dua duit? Sungguh pun demikian tidak seekor pun dari padanya yang dilupakan Allah, bahkan rambut di kepalamu pun terhitung semuanya. Karena itu jangan takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit” (Lukas 12:6-7). Jika tidak seekor burung pipit pun diabaikan Allah, bagaimana mungkin Allah melupakan saudara yang lebih berharga dari pada banyak burung pipit? (bnd. Yesaya 49:14-16).
III. Bagian Kita : Mempercayai Tuhan Sepenuhnya
Mempercayai Tuhan di tengah situasi kondisi yang sulit dan tidak pasti seperti saat ini, merupakan tantangan sekaligus panggilan dan kesempatan bagi iman kita untuk berakar semakin dalam kepada Tuhan dan Firman-Nya dan bertumbuh semakin kuat. Seperti Amsal mengatakan, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu” (Amsal 3:5-6). Apakah artinya ? Percaya dengan segenap hati kepada Tuhan adalah sebuah pilihan secara sadar untuk menolak bersandar kepada diri sendiri. Suatu keputusan untuk tidak mengandalkan segala kemampuan yang ada pada kita, baik itu berupa uang dan harta, jabatan, kepintaran, pengalaman, atau apa pun. Melainkan mengakui hanya Tuhanlah sumber tuntunan, kekuatan, hikmat, dan keberhasilan dalam hidup kita di mana kita memilih untuk mempercayai Dia dan bersandar pada-Nya. Ini adalah tantangan dan pilihan yang diperhadapkan kepada kita setiap hari. Khususnya di tengah masa transisi sekarang ini, kepada siapakah kita menyandarkan hidup kita. Kepada diri sendiri? Kepada keluarga? Kepada pemerintah, atasan (perusahaan), Institusi, rekan kerja, teman? Atau kepada TUHAN? Ataukah hal-hal di atas saling bercampur?